Minggu, 12 Maret 2017

Digital Divide

DIGITAL DIVIDE

Digital Divide adalah sebuah fenomena dimana seseorang masih kurang akses terhadap teknologi yang berkaitan dengan informasi dan komunikasi. Gap terhadap dunia Tenologi Informasi dan Komunikasi ini bisa saja masih terjadi di dalam kehidupan dan dalam berbagai aspek kehidupan. Kebanyakan masyarakat masih merasa teknologi yang berkembang sangat pesat hingga sangat sulit rasanya bila mengikuti perkembangannya, apalagi dalam beberapa negara di dunia termasuk Indonesia, penyebaran dari Teknologi Informasi dan Komunikasi masih kurang merata, hal tersebut juga disebabkan karena kurangnya sosialisasi kepada masyarakat atau memang faktor ekonomi dari masyarakat itu sendiri.
Kesenjangan Digital tidak hanya dapat dibuktikan dengan kurangnya pemahaman terhadap teknologi secara mendasar seperti contohnya seseorang yang takut menggunakan laptop atau komputer karena takut rusak karena harganya yang masih terhitung mahal oleh sebagian orang yang terjebak dalam fenomena kesenjangan digital. Hal lain yang bisa dikatakan kesenjangan digital adalah kurang pahamnya penggunaan dari sarana sosial media, bila ada sebagian orang yang takut menggunakan komputer karena berbagai alasan, sebagian lainnya juga diisi oleh mereka yang masih menggunakan jaringan internet atau media sosial secara tidak maksimal sehingga mereka tidak secara mendasar memahami apa guna dari TIK itu sendiri.


Ada beberapa pengertian Digital Divine menurut:

1. Menurut Kamus Komputer dan Teknologi Informasi
Digital divide yaitu istilah yang digunakan untuk menerangkan jurang perbedaan antara mereka yang mempunyai kemampuan dalam hal akses, dan pengetahuan dalam penggunaan teknologi modern, dengan mereka yang tidak berpeluang menikmati teknologi tersebut
2. Menurut Inpres No.3 Tahun 2003
Disebutkan bahwa digital divide, yaitu keterisolasian dari perkembangan global karena tidak mampu memanfaatkan informasi.
3. Menurut Dr. Craig Warren Smith (Investor Group Against Digital Divide)
Digital divide (kesenjangan digital) yaitu kesenjangan antara mereka yang mendapatkan keuntungan dari teknologi dan mereka yang tidak mendapatkannya.
4. Menurut Donny B.U., M.Si
Istilah "digital divide" terbentuk untuk menggambarkan kesenjangan dalam memahami, kemampuan, dan akses teknologi. Sehingga muncul istilah “the have” sebagai pemilik/penggunna teknologi dan “the have not” yang berarti sebaliknya.
5. Menurut Direktorat Pemberdayaan Telamatika Departemen Komunikasi dan Informatika
Digital divide mempunyai arti sebagai kesenjangan (gap) antara individu, rumah tangga, bisnis, (atau kelompok masyarakat) dan area geografis pada tingkat sosial ekonomi yang berbeda dalam hal kesempatan atas akses teknologi informasi dan komunikasi/TIK (information and communication technologies/ ICT) atau telematika dan penggunaan internet untuk beragam aktivitas. Jadi, digital divide atau “kesenjangan digital” sebenarnya mencerminkan beragam kesenjangan dalam pemanfaatan telematika dan akibat perbedaan pemanfaatannya dalam suatu negara dan/atau antar Negara.
6. Menurut Sigit Widodo (SW)
Selama ini kita selalu mengatakan, kesenjangan digital (digital divide) itu terjadi karena masalah infrastruktur. Namun ternyata ada hal-hal lain yang menyebabkannya. Dan salah satunya adalah masih kurangnya content berbahasa Indonesia.
7. Yayan Sopyan (YS)
Berbicara mengenai kesenjangan digital berarti berbicara mengenai gap antara kelompok masyarakat yang bisa menikmati teknologi digital -sebagai alat untuk bekerja, berkreasi, berkreativitas, dan lain sebagainya- dan menikmati keuntungan-keuntuingan yang diberikan oleh teknologi digital, dan kelompok masyarakat yang sama sekali tidak mencicipi itu. Itulah yang disebut kesenjangan digital.



Faktor Penyebab Kesenjangan Digital:
Hal ini bisa terjadi karena berbagai hal. Jan Van Dijk dari Utrecth University membagi faktor penentu mengapa terjadi kesenjangan digital, yakni:
1. Kurangnya pengalaman digital dasar yang diakibatkan oleh kurangnya minat, kecemasan terhadap komputer dan tidak memperbaruhi minat terhadap teknologi baru (akses mental)
2. Tidak memiliki komputer dan jaringan internet (akses bahan )
3. Kurangnya keterampilan digital karena pendidikan tidak cukup, dan tidak pula didukung oleh lingkungan sosialnya (keterampilan akses)
4. Kurangnya kesempatan penggunaan yang signifikan atau distribusi TIK yang tidak merata (akses penggunaan).
Dari keterangan diatas, dapat diketahui bahwa kesenjangan digital juga sempat terjadi di Amerika Serikat dan Eropa pada tahun 1990-an, hal tersebut dikarenakan beberapa faktor yang dikatakan diatas. Faktor penentu utama dalam hal ini adalah kurangnya pemahaman dan kurang meratanya ekonomi dan sosialisasi dari pemerintah dan pihak yang setidaknya melakukan inisiatif dalam hal ini. Sementara bagaimana dengan Kesenjangan Digital di Indonesia? di Indonesia jelas masih terasa kesenjangan digital yang cukup lebar antara masyarakat dengan perkembangan digital yang ada. Mari kita mulai analisis Kesenjangan Digital di Indonesia dari faktor:
1. Infrastruktur
Infrastruktur adalah hal pentin dalam memenuhi sarana teknologi, sarana disini bisa dimasukan dalam poin-poin khusus seperti tersedianya jaringan listrik yang baik di suatu daerah, jaringan telekomunikasi yang baik yang jadi penentu apakah jaringan internet dapat tersambung dengan baik di suatu daerah. Selain itu faktor infrastruktur ini juga bisa menyangkut perangkat keras dan lunak (program) dari sebuah piranti digital seperti komputer, smartphone dan lain sebagainya.
Infrastruktur lain juga mempengaruhi beberapa aspek seperti salah satunya pendidikan. Infrastruktur TIK dalam dunia pendidikan yang tidak merata sebaiknya diperbaiki sehingga terjadi pembenahan kesenjangan digital sejak dini. Dana pembangunan dalam dunia pendidikan yang tidak teratur mengakibatkan masih ada saja sekolah yang tidak memiliki sarana lab komputer dan akses internet, bila masih banyak hal seperti itu terjadi di daerah, bagaimana kesenjangan digital akan menipis dimasa depan. Jangankan Lab, gedung sekolah yang terancam rubuh saja masih banyak dan tersebar di berbagai daerah.
2. Kekurangan Skill SDM
Kekurangan Skill SDM disini bisa dikatakan sebagai minat dan kemampuan dari seseorang untuk menggunakan sarana digital. Masih banyak masyarakat yang merasa gugup, takut sehingga enggan menggunakan sarana digital seperti komputer atau laptop. Sebagian mereka masih tidak ingin menanggung resiko kerusakan dari sarana digital yang tergolong mahal sehingga bila rusak tentunya akan menghabiskan uang yang banyak pula bila rusak.
Bila diperhatikan lebih dalam lagi berarti hal yang mempengaruhi skill SDM dalam menggunakan sarana digital bisa datang dari kesenjangan ekonomi dan kurangnya sosialisasi atau pemberian pemahaman kepada masyarakat tentang penggunaan sarana digital.

3. Kekurangan Isi Konten
     Kekurangan konten yang paling terbaca disini adalah masih banyaknya masyarakat dengan penggunaan konten di sebuah sarana digital. Hal yang menjadi poin utama dalam permasalahan konten ini adalah kurangnya konten bahasa Indonesia dalam softwere digital yang ada. Mungkin di daerah yang masih berdekatan dengan kota-kota besar sudah banyak masyarakat yang memahami bahasa Inggris sehingga tahu bagaimana cara menggunakan aplikasi dalam sarana digital tertentu, tetapi bagaimana kabar dari saudara-saudara kita di daerah seperti yang disebutkan diatas, mereka yang masih belum memiliki jaringan Internet, bahkan listrik. Apakah mereka bisa paham menggunakan sarana digital yang di dominasi oleh perangkat berbahasa asing (Inggris).

4. Kekurangan dalam Penggunaan Internet Sendiri
Kesenjangan Digital ternyata tidak hanya berbicara mengenai sarana dan skill. Tetapi penggunaan Sarana digital dengan lebih bijaksana dan memberikan manfaat yang lebih besar untuk kesejahteraan informasi pada masyarakat. Internet dan jaringan Telekomunikasi saat ini bukan hanya untuk menghubungkan antara satu orang dengan kerabat di tempat yang jauh atau game online. Tetapi kemampuan digital saat ini juga bisa untuk mengakses informasi mengenai hal terkini dan memberikan banyak informasi yang sifatnya memberikan edukasi kepada khalayak. Sarana digital akan sangat berguna dan bermanfaat bagi masyarakat bila mereka peham dan mengerti tentang penggunaanya.
Bila diperhatikan saat ini sudah banyak memang mereka yang menggunakan sarana TIK untuk melakukan berbagai hal, namun banyak pula diantaranya masih terlihat keganjilan-kegajilan seperti contoh kasusnya adalah banyak sekali saat ini akan-anak yang berhasil mengerti cara menggunakan komputer dan penggunaan internet dan hubungan jaringan LAN dengan pahamnya mereka menggunakan jejaring sosial dan  bermain game online, tetapi, hanya itu yang bisa mereka lakukan, sementara untuk pemanfaatan lain masih belum bisa diperhitungkan.

Langkah Untuk Mempekecil Jarak Kesenjangan Digital:
Dari berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya kesenjangan digital dapat diketahui bahwa saat ini masyarakat masih butuh bimbingan dari pemerintah dan berbagai pihak yang merasa bertanggung jawab. Pemerataan dari setiap daerah seharusnya semakin di tingkatkan sehingga tidak ada lagi ketimpangan yang nantinya akan memperbesar jarak dari kesenjangan digital di Indonesia. Sarana harus semakin ditingkatkan dan sama rata antara kota dengan daerah, seperti listrik dan jaringan telekomunikasi, dengan demikian salah satu faktor dari penyebab kesenjangan sosial sudah bisa diselesaikan, yaitu faktor infrastruktur.
Masyarakat masih mebutuhkan bantuan dalam hal ini adalah pengenalan terhadap dunia digital. Sehingga tidak ada lagi diantara meraka yang masih menyalah gunakan sarana digital untuk melakukan berbagai hal yang merusak moral. Penyuluha dan pemahaman kepada masyarakat adalah hal penting untuk membentuk masyarakat yang lebih bijak dalam menggunakan sarana digital di masa depan.

Persoalan Digital Divide di Indonesia
Target pemerintah dalam mempercepat penetrasi internet melalui pembangunan infrastruktur ICT diseluruh Indonesia patut diapresiasi sebagai solusi atas persoalan digital divide namun langkah tersebut juga harus mempertimbangkan aspek social dalam mengatasinya. Langkah ini tak jauh dari pengertian awal digital divide yang lebih menekankan pada aspek ekonomi-teknologi bukan pada bagaimana cara memberikan solusi terpadu. Sebagaimana Rob Kling (2003) menyatakan bahwa persoalam utama dalam mengatasi digital divide cenderung pada pengertian “digital solution” tanpa melibatkan unsur penting lainya yakni inklusi social. Artinya penetrasi internet di Indonesia masih mengandalkan aspek fisikal semata yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.
            Pada kasus ini, internet ditempatkan sebagai entitas bisnis per se. ini dapat terlihat dai digital policy pemerintah yang menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi. Pemerintah melalui kebijakan digitalnya telah mencanangkan program Indonesia Digital Network (IDN), program tersebut dihadirkan sebagai solusi konektivitas nasional yang bertujuan tidak hanya mendukung digitalisasi masyarakat Indonesia tetapi meningkatkan daya saing masyarakat Indonesia dalam menjawab tantangan global yang suda di depan mata, semisal Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Alih-alih mengatasi ketimpangan akses internet, solusi konektifitas nasional melalui penanaman investasi teknologi informasi malah berpotensi memperlebar kesenjangan teknologi dan menciptakan eksklusi social. Dikhawatirkan, kesenjangan tersebut menghasilkan ketidakmerataan informasi (information inequality), permasalahan akses (problem of access) dan menghambat terbentuknya masyarakat informasi (knowledge society)-dalam kajian sosiologi ICT kesenjangan (gap) ini dikenal dengan sebutan digital divide.
            Konsep digital divide pertama kali diperkenalkan melalui laporan The National Telecommunication and Information Administration (NTIA)-sebuah badan pemerintahan federal AS yang mengurusi bidang telekomunikasi dan informasi. Pada laporan tersebut memuat konsep “the haves” dan “the have-nots” yang mengklasifikasikan warga negara kedalam dua kelompok baik yang memperoleh dan tak memperoleh akses ICT. Dalam perkembanganya sebagaimana Steyn & Johnson (2011) tulis bahwa pengkajian digital divide seringkali terhubung dengan persoalan akses dan ketidakmerataan dalam penggunaan ICT yang meliputi aspek ekonomi, politik, sosial, budaya, gender, etnisitas, geografis dan demografis sebagai sebagai satu kesatuan pokok persoalan untuk memahami atau menjelaskan persoalan digital divide. Jadi, cara mengatasi digital divide tak cukup dengan pengontrolan investasi infrastruktur ICT secara besar-besaran yang terkesan membereskan seluruh persoalan padahal aspek-aspek yang lain turut serta mempengaruhi satu sama lainnya dan saling terhubung antara ketersediaan perangkat ICT, kemampuan dan pengetahuan dalam menggunakan perangkat ICT (IT Skills & Literacy), dan kemampuan menciptakan bobot konten (Servon, 2002). Ketiga aspek inilah yang tak dapat dipisahkan dan menjadi inti dalam mengatasi persoalan digital divide secara integratif dan berkelanjutan. PBB dalam pertemuan World Summit on the Information Society telah merumuskan di mana solusi integratif dan berkelanjutan dalam mengatasi digital divide adalah membangun infrastruktur ICT, membentuk mesyarakat informasi dan mengedukasi ICT.
            Bersamaan dengan itu, formula untuk mengatasi ketimpangan akses ICT adalah dengan mengeluarkan kebijakan going online, salah satunya ialah kebijakan inklusi digital (digital inclusion policies). Kebijakan ini menciptakan banyak kesempatan bagi warga negara untuk terlibat dalam arena politik dengan mengoptimalkan peran kewarga negaraan (citizenship) masyarakat untuk memperoleh pelayanan dan informasi dari pemerintah (Servon, 2002). Diasamping itu, kebijakan inklusi digital menyediakan platform Community Technology Centers (CTCs) dan pelayanan Telecenter yang merupakan lesson learn bagi masyarakat dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ICT sehingga dapat meminimalisir ekses digital divide. Kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan “Knowledge Society” dimana antara literasi dan tersedianya akses ICT dapat meningkatkan komunikasi insani dan terciptanya produksi pengetahuan yang dalam proses selanjutnya mendukung terbentuknya institusi sosial baru. Sebagaimana Lisa J. Servon (2002) katakan “It people often go to CTCs initially in order to obtain access. CTCs are a new form of community institutions.” Kita dapat saksikan secara seksama, selama ini sudah tumbuh beragam inisiatif masyarakat berupa Community Technology Centers (CTCs) seperti Desa Melek Teknologi Informasi (Demit). Inisiatif masyarakat tersebut adalah bukti bagaimana cara mengatasi persoalan digital divide terutama menyangkut aspek literasi dan penciptaan konten. Namun cara mengatasi persoalan digital divide tak cukup dengan rumusan kebijakan dan program yang hanya menyasar pada kelompok masyarakat belum melek ICT karena dalam beberapa kasus dapat kita temukan fakta bahwa dalam persoalan digital divide bisa terjadi dikalangan masyarakat yang sudah melek sekalipun-anggaplah kelompok masyarakat kelas menengah perkotaan yang sering terjebak dalam situasi collective behavior ketika mereka involve dengan internet, terutama dalam penggunaan sosial media.
            Kondisi internet di Indonesia adalah soal kebingungan tentang apa yang harus dilakukan atau tidak dan dimana harus dilakukan? Fenomena-fenomena seperti pertarungan konten yang tidak produktif, penyebaran berita-berita hoax berantai, maraknya kriminalisasi waraga negara yang terjerat pasal 27 Ayat 3 UU ITE dan rendahnya literasi adalah fakta yang tak dapat dihindari dari persoalan digital divide di Indonesia. Konsekuensinya, pada kasus-kasus yang terjadi banyak orang yang kurang mengerti atau tidak mengetahui soal literasi informasi dan mengiring terjadinya kekacauan karena larut dalam perilaku kolektif massa (trap from collective behavior). Oleh karena itu, perlu pemahaman terhadap aspek literasi dan penciptaan konten.
            Disamping itu, internet di Indonesia masih bersifat elitis dan tentu saja bertolak belakang dengan filosofi dasar internet yang mengandaikan kesetaraan, ini artinya masih terjadi gap terutama dalam memperoleh akses pengetahuan dan keterampilan ICT serta kemampuan dalam mengelola informasi. Maka dari itu, kita ditantang untuk memiliki kecerdasan baru dalam mengelolanya, misalnya dengan menaati asas-asas verifikasi karena bagaimanapun, pada saat ini setiap orang berpotensi untuk tahu semua melalui internet.

Political engagement
Pengertian partisipasi politik adalah kegiatan warganegara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan politik. Partisipasi politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warganegara, bukan politikus ataupun pegawai negeri dan sifat partisipasi politik ini adalah sukarela, bukan dimobilisasi oleh negara ataupun partai yang berkuasa.
Definisi partisipasi politik yang cukup senada disampaikan oleh Silvia Bolgherini. Menurut Bolgherini, partisipasi politik " ... a series of activities related to political life, aimed at influencing public decisions in a more or less direct way—legal, conventional, pacific, or contentious.[3] Bagi Bolgherini, partisipasi politik adalah segala aktivitas yang berkaitan dengan kehidupan politik, yang ditujukan untuk memengaruhi pengambilan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung -- dengan cara legal, konvensional, damai, ataupun memaksa.
Studi klasik mengenai partisipasi politik diadakan oleh Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam karya penelitiannya No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries. Lewat penelitian mereka, Huntington and Nelson memberikan suatu catatan: Partisipasi yang bersifat mobilized (dipaksa) juga termasuk ke dalam kajian partisipasi politik. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Bolgherini yaitu bahwa dalam melakukan partisipasi politik, cara yang digunakan salah satunya yang bersifat paksaan (contentious). Bagi Huntington and Nelson, perbedaan partisipasi politik sukarela dan mobilisasi (diarahkan, senada dengan dipaksa) hanya dalam aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan: Intinya baik sukarela ataupun dipaksa, warganegara tetap melakukan partisipasi politik.
Ruang bagi partisipasi politik adalah sistem politik. Sistem politik memiliki pengaruh untuk menuai perbedaan dalam pola partisipasi politik warganegaranya. Pola partisipasi politik di negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan di negara dengan sistem Komunis atau Otoritarian. Bahkan, di negara-negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal juga terdapat perbedaan, seperti yang ditunjukkan Oscar Garcia Luengo, dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New Media and Political Participation in Europe. [4] Warganegara di negara-negara Eropa Utara (Swedia, Swiss, Denmark) cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi politiknya ketimbang negara-negara Eropa bagian selatan (Spanyol, Italia, Portugal, dan Yunani).



Bentuk Partisipasi Politik

Jika mode partisipasi politik bersumber pada faktor “kebiasaan” partisipasi politik di suatu zaman, maka bentuk partisipasi politik mengacu pada wujud nyata kegiatan politik tersebut. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi:
Kegiatan Pemilihan – yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha mempengaruhi hasil pemilu;
Lobby – yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu;
Kegiatan Organisasi – yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah;
Contacting – yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka, dan
Tindakan Kekerasan (violence) – yaitu tindakan individu atau kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-hara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.

Political Disaffection. Political Disaffection adalah istilah yang mengacu pada perilaku dan perasaan negatif individu atau kelompok terhadap suatu sistem politik. Penyebab utama dari political disaffection ini dihipotesiskan adalah media massa, terutama televisi. Hipotesis tersebut diangkat dari kajian Michael J. Robinson selama 1970-an yang mempopulerkan istilah “videomalaise”.
Dengan banyaknya individu menyaksikan acara televisi, utamanya berita-berita politik, mereka mengalami keterasingan politik (political alienation). Keterasingan ini akibat melemahnya dukungan terhadap struktur-struktur politik yang ada di sistem politik seperti parlemen, kepresidenan, kehakiman, partai politik, dan lainnya. Individu merasa bahwa struktur-struktur tersebut dianggap tidak lagi memperhatikan kepentingan mereka. Wujud keterasingan ini muncul dalam bentuk sinisme politik berupa protes-protes, demonstrasi-demonstrasi, dan huru-hara. Jika tingkat political disaffection tinggi, maka para individu atau kelompok cenderung memilih bentuk partisipasi yang sinis ini.
Political Efficacy. Political Efficacy adalah istilah yang mengacu kepada perasaan bahwa tindakan politik (partisipasi politik) seseorang dapat memiliki dampak terhadap proses-proses politik. Keterlibatan individu atau kelompok dalam partisipasi politik tidak bersifat pasti atau permanen melainkan berubah-ubah. Dapat saja seseorang yang menggunakan hak-nya untuk memiliki di suatu periode, tidak menggunakan hak tersebut pada periode lainnya. Secara teroretis, ikut atau tidaknya individu atau kelompok ke dalam bentuk partisipasi politik bergantung pada Political Efficacy ini.


Media Consumption
Perkembangan jaman yang semakin maju, teknologi, serta media yang semakinmaju dan modern, masyarakat juga menjadi modern dengan mengikuti perkembangan media.Dalam masyarakat yang modern inilah masyarakat yang berperan sebagai khalayak mediadituntut dan didorong untuk juga menjadi modern. Masyarakat yang modern adalah masyarakatyang melakukan sikap konsumtif. Menurut Don Slater (1997) konsumsi adalah cara bagaimanamanusia dan faktor sosial dengan kebutuhan yang dimiliki berhubungan dengan sesuatu (secara material, simbolik, jasa, maupun pengalaman) yang dapat menciptakan rasa kepuasaan bagiseseorang. "ada media kepuasaan yang dirasakan oleh khalayak bisa melalui aramenonton televisi, membaca koran, mendengarkan radio, dan lain$lain, tanpa harusmengeluarkan biaya yang berlebih untuk mendapatkan kepuasaan itu.
"ada a'alnya media melihat karakteristik sasaran yang akan diberi tayangan$tayangan itu apakah mereka menyukai atau tidak. Media diaman modern ini semakin mendorong khalayaknya untuk semakin mengkonsumsi media hinggakhalayak pada titik puas dengan kemasan media yang semakin menarik, menghibur, walaupun di balik itu semua terdapat tujuan media adalah menjual. halayak media menggunakan 'aktuluang mereka untuk duduk manis di hadapan televisi, radio, koran, ataupun media lain yangdianggap dapat memberikan rasa kepuasaan tersendiri. Media memahami bah'a khalayak membutuhkan hiburan yang sifatnya ringan,memuaskan dan murah. halayak sudah terlalu bosan dengan rutinitas yang harus memenuhituntutan ekonomi. rasa bosan dan penat ini ditangkap oleh media yang kemudian dijadikan produk hiburan yang diperjual$belikan. 2gar produk ini terus laku di pasaran, media mengajak khalayak untuk terlibat secara emosional pada konten yang disajikan.

Media Sociology
Sosiologi hendak mempelajari masyarakat dan perilakunya, serta perilaku sosial manusia dengan cara mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya. Sebagai suatu ilmu, sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan dapat dikontrol oleh orang lain atau umum. Dalam kajian sosiologi sangat sukar merumuskan suatu definisi (batasan makna) yang mengemukakan keseluruhan pengertian, sifat, dan hakikat yang dimaksud dalam beberapa kata dan kalimat. Oleh sebab itu, suatu definisi hanya dapat dipakai sebagai pegangan sementara. Meskipun penyelidikan berjalan terus dan ilmu pengetahuan tumbuh ke arah berbagai kemungkinan, masih juga diperlukan suatu pengertian yang pokok dan menyeluruh.
Media merupakan bentuk jamak dari kata medium. Dalam ilmu komunikasi, media bisa diartikan sebagai saluran, sarana penghubung, dan ala-alat komunikasi. Kalimat media sebenarnya berasal dari bahasa latin yang secara harafiah mempunyai arti perantara atau pengantar.
Media merupakan salah satu bagian esensial yang tak dapat dipisahkan dari era postmodernisme. Pengaruh postmodernisme yang hampir menjangkau seluruh lapisan, tidak dapat dilepaskan dari peran media. Media memiliki kekuatan untuk menenggelamkan realitas, menyederhanakan berbagai isu, dan mempengaruhi berbagai peristiwa.
Media berfungsi menyebarkan opini publik yang menghasilkan pendapatan atau pandangan yang dominan, sementara individu dalam hal menyampaikan pandangannya akan bergantung pada pandangan yang dominan, sedangkan media pada gilirannya cenderung memberitakan pandangan yang terungkap.

Perspektif Sosiologi terhadap Media
Perspektif sosiologi merupakan pola pengamatan ilmu sosiologi dalam mengkaji tentang kehidupan masyarakat dengan segala aspek atau proses social kehidupan di dalamnya. Dalam ilmu sosiologi terdapat dua perspektif besar yang memandang masyarakat dari sisi yang berlawanan yaitu positivisme dan fenomenologi.
Perspektif sosiologi dapat mempengaruhi jalannya media. Media ini bisa banyak macam dari media cetak maupun media elektronik. Dalam berbagai tayanggannya media dapat berisi berbagai konten yang dipengaruhi oleh perspektif sosiologi.

Perspektif Fungsionalis Terhadap Media
      Dalam perspektif fungsionalis masyarakat dilihat sebagai suatu jaringan kelompok yang bekerjasama secara terorganisasi yang bekerja dalam suatu cara yang agak teratur menurut seperangkat aturan dan nilai yang di anut. Talcott Parsons, Kingslay Davis dan Robert Merton sebagai para juru bicara yang terkemuka, setiap kelompok atau lembaga melakukan tugas tertentu dan terus menerus karena hal itu fungsional.
Perubahan sosial mengganggu keseimbangan masyarakat yang stabil namun tidaklah lama, muncullah keseimbangan yang baru. Sebagai contoh, dalam sebagian besar sejarah, keluarga besar sangat di dambakan. Tingkat kematian tinggi dan keluarga besar membantu untuk meyakinkan adanya beberapa yang selamat.
Teori komunikasi massa sangat di butuhkan untuk memberi penjelasan tentang peranan media dalam sebuah sistem. Lahirlah teori fungsional pada tahun 1950-1960 an. Melalui teori fungsionalisme ini pengaruh dari komunikasi massa dalam kehidupan sosial di dunia bisa dijelaskan dan dipahami, dan pada saat yang sama efeknya dapat dibatasi oleh fungsi bagian lain dari sebuah sistem. Perspektif Konflik Terhadap Media
      Perspektif konflik secara luas di dasarkan pada karya Karl Marx, yang melihat peretentangan dan eksploitasi kelas sebagai penggerak utama dari kekuatan-kekuatan sejarah. Perspektif konflik ini pada mulanya banyak di abaikan oleh para sosiolog atau bisa di katakan bergerak di tempat saja tanpa ada yang mengembangkannya lebih lanjut.
Seseorang pengguna media yang mempunyai literasi media atau melek media akan berupaya memberi reaksi dan menilai sesuatu pesan media dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Kajian literasi media menyediakan pengetahuan, informasi, dan statistik tentang media dan budaya, serta memberi pengguna media dengan satu set peralatan untuk berfikir dengan kritis terhadap idea, produk atau citra yang disampaikan dan dijual oleh isi media massa.
Tujuan dasar literasi media ialah mengajar khalayak dan pengguna media untuk menganalisis pesan yang disampaikan oleh media massa, mempertimbangkan tujuan komersil dan politik di balik suatu citra atau pesan media, dan meneliti siapa yang bertanggungjawab atas pesan atau idea yang diimplikasikan oleh pesan atau citra itu.
Perspektif Feminisme Terhadap Media
      Feminisme adalah sebuah paham yang munul ketika wanita untuk menuntut kesetaraan hak yang sama  dengan  pria. Istilah ini pertama kali di gunakna di dalam debat politik di perancis di akhir abad ke 19. Menurut June Hannam  di dalam buku feminism, kata feminisme bisa diartikan sebagai:
1.      Pengakuan tentang ketidak seimbangan kekuatan antara dua jenis kelamin, dengan peranan wanitadi bawah pria.
2.      Keyakinan bahwa kondisi wanita terbentu secara sosial maka dari itu dapat di ubah.
3.      Penekanan pada otonomi wanita.
Feminisme sebagai salah satu teori sosial adalah untuk menganalisis dan menjelaskan akar penyebab, dinamika dan struktur penindasan terhadap perempuan.


Communicative Resources,  ICTs
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) berasal dari bahasa Inggrisyaitu Information and Communication Technologies (ICT) adalah payung besar terminologi yang mencakup seluruh peralatan teknis untuk memproses dan menyampaikan informasi. ICT mencakup dua aspek yaitu teknologi informasi dan teknologi komunikasi. Teknologi informasi meliputi segala hal yang berkaitan dengan proses, penggunaan sebagai alat bantu, manipulasi, dan pengelolaan informasi. Sedangkan teknologi komunikasi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan alat bantu untuk memproses dan mentransfer data dari perangkat yang satu ke lainnya. Oleh karena itu, teknologi informasi dan teknologi komunikasi adalah dua buah konsep yang tidak terpisahkan. Jadi Teknologi Informasi dan Komunikasi mengandung pengertian luas yaitu segala kegiatan yang terkait dengan pemrosesan, manipulasi, pengelolaan, pemindahan informasi antar media. Istilah ICT muncul setelah adanya perpaduan antara teknologi komputer (baik perangkat keras maupun perangkat lunak) dengan teknologi komunikasi pada pertengahan abad ke-20.
Menurut Fitrihana (2007), ICT adalah sistem atau teknologi yang dapat mereduksi batasan ruang dan waktu untuk mengambil, memindahkan, menganalisis, menyajikan, menyimpan dan menyampaikan informasi data menjadi sebuah informasi. Dan dalam konteks pembelajaran, ICT meliputi segala hal yang berkaitan dengan pemanfaatan komputer untuk mengolah informasi dan sebagai alat bantu pembelajaran serta sebagai sumber informasi bagi guru dan siswa.
Dampak ICT / TIK Dalam Pendidikan
Seiring berkembangnya zaman, ICT/TIK semakin digunakan di dunia pembelajaran, hal itu bisa terjadi karena ICT/TIK dirasa membawa keuntungan baik bagi pengajar maupun pelajar, keuntungan atau dampak positif dari pembelajaran yang menggunakan ICT/TIK tersebut antara lain adalah :
       Pelajar jadi lebih mudah dalam belajar, karena kebanyakan pelajra lebih suka praktek dibandingkan teori.
          Pengajar jadi lebih mudah mengajar jadi lebih mudah menyampaikan materi dengan membuat presentasi – presentasi. Bagi pelajar maupun pengajar, pemberian dan penerimaan materi atau tugas tidak harus bertatap muka, jadi jika pengajar berhalangan hadir tetap dapat memberi tugas atau materi melalui e-mail. Dalam membuat laporan baik bagi pelajar, maupun pengajar jadi lebih mudah karena jika memakai komputer, akan mudah dikoreksi jika ada kesalahan. Dalam belajar, baik pelajar maupun pengajar akan lebih mudah mencari sumber karena adanya internet.
Pembelajaran yang menggunakan ICT/TIK bisa dibuat menjadi lebih menarik, misalnya dengan memunculkan gambar atau suara, sehingga pelajar menjadi lebih antusias untuk belajar. Segala sesuatu pasti ada dampak positif dan negatif, tidak terkecuali pembelajaran yang menggunakan ICT/TIK
      Pembelajaran yang menggunakan ICT/TIK hanya bisa dilaksanakan oleh sekolah yang mampu, bagi sekolah – sekolah yang kurang mampu akan ketinggalan, dan siswanya akan kesulitan jika mereka masuk ke sekolah lanjutan di kota besar yang sudah sering menggunakan ICT/TIK
       Setiap pelajar harus mendapat fasilitas yang sama, jadi dalam pembelajaran yang menggunakan komputer, setiap pelajarnya harus memakai 1 komputer yang memadai, jika komputer yang dalam kondisi baik hanya sebagian, aka nada siswa yang hanya menonton, sehingga mereka tidak menguasai penggunaan komputer
       Dalam pembelajaran, siswa – siswa yang tidak antuasias dalam penerimaan materi sering kali lebih suka main game selama pembelajaran, sehingga mereka tidak konsentrasi dan tidak menerima materi yang diajarkan.
       Dalam pembelajaran yang menggunakan internet yang tidak dibatasi, sering kali pelajar menggunakan internet bukan untuk keperluan belajar, misalnya membuka situs youtube untuk menonton video dalam proses belajar
       Bagi pengajar yang malas masuk kelas cenderung memberi tugas – tugas yang memanfaatkan internet sehingga tatap muka dengan pelajar jarang terjadi, akibatnya pengajar tidak mengenali pelajarnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar