DIGITAL DIVIDE
Digital
Divide adalah sebuah fenomena dimana seseorang masih kurang akses terhadap
teknologi yang berkaitan dengan informasi dan komunikasi. Gap terhadap dunia
Tenologi Informasi dan Komunikasi ini bisa saja masih terjadi di dalam
kehidupan dan dalam berbagai aspek kehidupan. Kebanyakan masyarakat masih
merasa teknologi yang berkembang sangat pesat hingga sangat sulit rasanya bila
mengikuti perkembangannya, apalagi dalam beberapa negara di dunia termasuk
Indonesia, penyebaran dari Teknologi Informasi dan Komunikasi masih kurang
merata, hal tersebut juga disebabkan karena kurangnya sosialisasi kepada
masyarakat atau memang faktor ekonomi dari masyarakat itu sendiri.
Kesenjangan Digital tidak hanya dapat
dibuktikan dengan kurangnya pemahaman terhadap teknologi secara mendasar
seperti contohnya seseorang yang takut menggunakan laptop atau komputer karena
takut rusak karena harganya yang masih terhitung mahal oleh sebagian orang yang
terjebak dalam fenomena kesenjangan digital. Hal lain yang bisa dikatakan
kesenjangan digital adalah kurang pahamnya penggunaan dari sarana sosial media,
bila ada sebagian orang yang takut menggunakan komputer karena berbagai alasan,
sebagian lainnya juga diisi oleh mereka yang masih menggunakan jaringan
internet atau media sosial secara tidak maksimal sehingga mereka tidak secara
mendasar memahami apa guna dari TIK itu sendiri.
Ada beberapa pengertian Digital Divine
menurut:
1. Menurut Kamus Komputer dan Teknologi Informasi
Digital
divide yaitu istilah yang digunakan untuk menerangkan jurang perbedaan antara mereka
yang mempunyai kemampuan dalam hal akses, dan pengetahuan dalam penggunaan
teknologi modern, dengan mereka yang tidak berpeluang menikmati teknologi
tersebut
2. Menurut Inpres No.3 Tahun 2003
Disebutkan
bahwa digital divide, yaitu keterisolasian dari perkembangan global karena
tidak mampu memanfaatkan informasi.
3. Menurut Dr. Craig Warren Smith
(Investor Group Against Digital Divide)
Digital
divide (kesenjangan digital) yaitu kesenjangan antara mereka yang mendapatkan
keuntungan dari teknologi dan mereka yang tidak mendapatkannya.
4. Menurut Donny B.U., M.Si
Istilah
"digital divide" terbentuk untuk menggambarkan kesenjangan dalam
memahami, kemampuan, dan akses teknologi. Sehingga muncul istilah “the have”
sebagai pemilik/penggunna teknologi dan “the have not” yang berarti sebaliknya.
5. Menurut Direktorat Pemberdayaan
Telamatika Departemen Komunikasi dan Informatika
Digital
divide mempunyai arti sebagai kesenjangan (gap) antara individu, rumah tangga,
bisnis, (atau kelompok masyarakat) dan area geografis pada tingkat sosial
ekonomi yang berbeda dalam hal kesempatan atas akses teknologi informasi dan
komunikasi/TIK (information and communication technologies/ ICT) atau
telematika dan penggunaan internet untuk beragam aktivitas. Jadi, digital
divide atau “kesenjangan digital” sebenarnya mencerminkan beragam kesenjangan
dalam pemanfaatan telematika dan akibat perbedaan pemanfaatannya dalam suatu
negara dan/atau antar Negara.
6. Menurut Sigit Widodo (SW)
Selama
ini kita selalu mengatakan, kesenjangan digital (digital divide) itu terjadi
karena masalah infrastruktur. Namun ternyata ada hal-hal lain yang
menyebabkannya. Dan salah satunya adalah masih kurangnya content berbahasa
Indonesia.
7. Yayan Sopyan (YS)
Berbicara
mengenai kesenjangan digital berarti berbicara mengenai gap antara kelompok
masyarakat yang bisa menikmati teknologi digital -sebagai alat untuk bekerja,
berkreasi, berkreativitas, dan lain sebagainya- dan menikmati
keuntungan-keuntuingan yang diberikan oleh teknologi digital, dan kelompok masyarakat
yang sama sekali tidak mencicipi itu. Itulah yang disebut kesenjangan digital.
Faktor Penyebab Kesenjangan Digital:
Hal
ini bisa terjadi karena berbagai hal. Jan Van Dijk dari Utrecth University
membagi faktor penentu mengapa terjadi kesenjangan digital, yakni:
1. Kurangnya pengalaman digital dasar
yang diakibatkan oleh kurangnya minat, kecemasan terhadap komputer dan tidak
memperbaruhi minat terhadap teknologi baru (akses mental)
2. Tidak memiliki komputer dan jaringan
internet (akses bahan )
3. Kurangnya keterampilan digital karena
pendidikan tidak cukup, dan tidak pula didukung oleh lingkungan sosialnya
(keterampilan akses)
4. Kurangnya kesempatan penggunaan yang
signifikan atau distribusi TIK yang tidak merata (akses penggunaan).
Dari
keterangan diatas, dapat diketahui bahwa kesenjangan digital juga sempat
terjadi di Amerika Serikat dan Eropa pada tahun 1990-an, hal tersebut
dikarenakan beberapa faktor yang dikatakan diatas. Faktor penentu utama dalam
hal ini adalah kurangnya pemahaman dan kurang meratanya ekonomi dan sosialisasi
dari pemerintah dan pihak yang setidaknya melakukan inisiatif dalam hal ini.
Sementara bagaimana dengan Kesenjangan Digital di Indonesia? di Indonesia jelas
masih terasa kesenjangan digital yang cukup lebar antara masyarakat dengan
perkembangan digital yang ada. Mari kita mulai analisis Kesenjangan Digital di
Indonesia dari faktor:
1. Infrastruktur
Infrastruktur
adalah hal pentin dalam memenuhi sarana teknologi, sarana disini bisa dimasukan
dalam poin-poin khusus seperti tersedianya jaringan listrik yang baik di suatu
daerah, jaringan telekomunikasi yang baik yang jadi penentu apakah jaringan
internet dapat tersambung dengan baik di suatu daerah. Selain itu faktor
infrastruktur ini juga bisa menyangkut perangkat keras dan lunak (program) dari
sebuah piranti digital seperti komputer, smartphone dan lain sebagainya.
Infrastruktur lain juga mempengaruhi
beberapa aspek seperti salah satunya pendidikan. Infrastruktur TIK dalam dunia
pendidikan yang tidak merata sebaiknya diperbaiki sehingga terjadi pembenahan
kesenjangan digital sejak dini. Dana pembangunan dalam dunia pendidikan yang
tidak teratur mengakibatkan masih ada saja sekolah yang tidak memiliki sarana
lab komputer dan akses internet, bila masih banyak hal seperti itu terjadi di
daerah, bagaimana kesenjangan digital akan menipis dimasa depan. Jangankan Lab,
gedung sekolah yang terancam rubuh saja masih banyak dan tersebar di berbagai
daerah.
2. Kekurangan Skill SDM
Kekurangan
Skill SDM disini bisa dikatakan sebagai minat dan kemampuan dari seseorang
untuk menggunakan sarana digital. Masih banyak masyarakat yang merasa gugup,
takut sehingga enggan menggunakan sarana digital seperti komputer atau laptop.
Sebagian mereka masih tidak ingin menanggung resiko kerusakan dari sarana
digital yang tergolong mahal sehingga bila rusak tentunya akan menghabiskan
uang yang banyak pula bila rusak.
Bila diperhatikan lebih dalam lagi
berarti hal yang mempengaruhi skill SDM dalam menggunakan sarana digital bisa
datang dari kesenjangan ekonomi dan kurangnya sosialisasi atau pemberian
pemahaman kepada masyarakat tentang penggunaan sarana digital.
3. Kekurangan Isi Konten
Kekurangan konten yang paling terbaca
disini adalah masih banyaknya masyarakat dengan penggunaan konten di sebuah
sarana digital. Hal yang menjadi poin utama dalam permasalahan konten ini
adalah kurangnya konten bahasa Indonesia dalam softwere digital yang ada.
Mungkin di daerah yang masih berdekatan dengan kota-kota besar sudah banyak
masyarakat yang memahami bahasa Inggris sehingga tahu bagaimana cara
menggunakan aplikasi dalam sarana digital tertentu, tetapi bagaimana kabar dari
saudara-saudara kita di daerah seperti yang disebutkan diatas, mereka yang
masih belum memiliki jaringan Internet, bahkan listrik. Apakah mereka bisa
paham menggunakan sarana digital yang di dominasi oleh perangkat berbahasa
asing (Inggris).
4. Kekurangan dalam Penggunaan Internet
Sendiri
Kesenjangan
Digital ternyata tidak hanya berbicara mengenai sarana dan skill. Tetapi
penggunaan Sarana digital dengan lebih bijaksana dan memberikan manfaat yang
lebih besar untuk kesejahteraan informasi pada masyarakat. Internet dan
jaringan Telekomunikasi saat ini bukan hanya untuk menghubungkan antara satu
orang dengan kerabat di tempat yang jauh atau game online. Tetapi kemampuan
digital saat ini juga bisa untuk mengakses informasi mengenai hal terkini dan
memberikan banyak informasi yang sifatnya memberikan edukasi kepada khalayak.
Sarana digital akan sangat berguna dan bermanfaat bagi masyarakat bila mereka
peham dan mengerti tentang penggunaanya.
Bila diperhatikan saat ini sudah banyak
memang mereka yang menggunakan sarana TIK untuk melakukan berbagai hal, namun
banyak pula diantaranya masih terlihat keganjilan-kegajilan seperti contoh
kasusnya adalah banyak sekali saat ini akan-anak yang berhasil mengerti cara
menggunakan komputer dan penggunaan internet dan hubungan jaringan LAN dengan
pahamnya mereka menggunakan jejaring sosial dan
bermain game online, tetapi, hanya itu yang bisa mereka lakukan,
sementara untuk pemanfaatan lain masih belum bisa diperhitungkan.
Langkah Untuk Mempekecil Jarak Kesenjangan
Digital:
Dari
berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya kesenjangan digital dapat
diketahui bahwa saat ini masyarakat masih butuh bimbingan dari pemerintah dan
berbagai pihak yang merasa bertanggung jawab. Pemerataan dari setiap daerah
seharusnya semakin di tingkatkan sehingga tidak ada lagi ketimpangan yang
nantinya akan memperbesar jarak dari kesenjangan digital di Indonesia. Sarana
harus semakin ditingkatkan dan sama rata antara kota dengan daerah, seperti
listrik dan jaringan telekomunikasi, dengan demikian salah satu faktor dari
penyebab kesenjangan sosial sudah bisa diselesaikan, yaitu faktor
infrastruktur.
Masyarakat masih mebutuhkan bantuan
dalam hal ini adalah pengenalan terhadap dunia digital. Sehingga tidak ada lagi
diantara meraka yang masih menyalah gunakan sarana digital untuk melakukan
berbagai hal yang merusak moral. Penyuluha dan pemahaman kepada masyarakat
adalah hal penting untuk membentuk masyarakat yang lebih bijak dalam
menggunakan sarana digital di masa depan.
Persoalan Digital Divide di Indonesia
Target
pemerintah dalam mempercepat penetrasi internet melalui pembangunan
infrastruktur ICT diseluruh Indonesia patut diapresiasi sebagai solusi atas
persoalan digital divide namun langkah tersebut juga harus mempertimbangkan
aspek social dalam mengatasinya. Langkah ini tak jauh dari pengertian awal
digital divide yang lebih menekankan pada aspek ekonomi-teknologi bukan pada
bagaimana cara memberikan solusi terpadu. Sebagaimana Rob Kling (2003)
menyatakan bahwa persoalam utama dalam mengatasi digital divide cenderung pada
pengertian “digital solution” tanpa melibatkan unsur penting lainya yakni
inklusi social. Artinya penetrasi internet di Indonesia masih mengandalkan
aspek fisikal semata yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.
Pada kasus ini, internet
ditempatkan sebagai entitas bisnis per se. ini dapat terlihat dai digital
policy pemerintah yang menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi. Pemerintah
melalui kebijakan digitalnya telah mencanangkan program Indonesia Digital
Network (IDN), program tersebut dihadirkan sebagai solusi konektivitas nasional
yang bertujuan tidak hanya mendukung digitalisasi masyarakat Indonesia tetapi
meningkatkan daya saing masyarakat Indonesia dalam menjawab tantangan global
yang suda di depan mata, semisal Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Alih-alih
mengatasi ketimpangan akses internet, solusi konektifitas nasional melalui
penanaman investasi teknologi informasi malah berpotensi memperlebar
kesenjangan teknologi dan menciptakan eksklusi social. Dikhawatirkan,
kesenjangan tersebut menghasilkan ketidakmerataan informasi (information
inequality), permasalahan akses (problem of access) dan menghambat terbentuknya
masyarakat informasi (knowledge society)-dalam kajian sosiologi ICT kesenjangan
(gap) ini dikenal dengan sebutan digital divide.
Konsep digital divide pertama kali
diperkenalkan melalui laporan The National Telecommunication and Information
Administration (NTIA)-sebuah badan pemerintahan federal AS yang mengurusi
bidang telekomunikasi dan informasi. Pada laporan tersebut memuat konsep “the
haves” dan “the have-nots” yang mengklasifikasikan warga negara kedalam dua
kelompok baik yang memperoleh dan tak memperoleh akses ICT. Dalam
perkembanganya sebagaimana Steyn & Johnson (2011) tulis bahwa pengkajian
digital divide seringkali terhubung dengan persoalan akses dan ketidakmerataan
dalam penggunaan ICT yang meliputi aspek ekonomi, politik, sosial, budaya,
gender, etnisitas, geografis dan demografis sebagai sebagai satu kesatuan pokok
persoalan untuk memahami atau menjelaskan persoalan digital divide. Jadi, cara
mengatasi digital divide tak cukup dengan pengontrolan investasi infrastruktur
ICT secara besar-besaran yang terkesan membereskan seluruh persoalan padahal
aspek-aspek yang lain turut serta mempengaruhi satu sama lainnya dan saling
terhubung antara ketersediaan perangkat ICT, kemampuan dan pengetahuan dalam
menggunakan perangkat ICT (IT Skills & Literacy), dan kemampuan menciptakan
bobot konten (Servon, 2002). Ketiga aspek inilah yang tak dapat dipisahkan dan
menjadi inti dalam mengatasi persoalan digital divide secara integratif dan
berkelanjutan. PBB dalam pertemuan World Summit on the Information Society
telah merumuskan di mana solusi integratif dan berkelanjutan dalam mengatasi
digital divide adalah membangun infrastruktur ICT, membentuk mesyarakat
informasi dan mengedukasi ICT.
Bersamaan dengan itu, formula untuk
mengatasi ketimpangan akses ICT adalah dengan mengeluarkan kebijakan going
online, salah satunya ialah kebijakan inklusi digital (digital inclusion
policies). Kebijakan ini menciptakan banyak kesempatan bagi warga negara untuk
terlibat dalam arena politik dengan mengoptimalkan peran kewarga negaraan
(citizenship) masyarakat untuk memperoleh pelayanan dan informasi dari
pemerintah (Servon, 2002). Diasamping itu, kebijakan inklusi digital
menyediakan platform Community Technology Centers (CTCs) dan pelayanan
Telecenter yang merupakan lesson learn bagi masyarakat dalam meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan ICT sehingga dapat meminimalisir ekses digital
divide. Kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan “Knowledge Society” dimana
antara literasi dan tersedianya akses ICT dapat meningkatkan komunikasi insani
dan terciptanya produksi pengetahuan yang dalam proses selanjutnya mendukung
terbentuknya institusi sosial baru. Sebagaimana Lisa J. Servon (2002) katakan
“It people often go to CTCs initially in order to obtain access. CTCs are a new
form of community institutions.” Kita dapat saksikan secara seksama, selama ini
sudah tumbuh beragam inisiatif masyarakat berupa Community Technology Centers
(CTCs) seperti Desa Melek Teknologi Informasi (Demit). Inisiatif masyarakat
tersebut adalah bukti bagaimana cara mengatasi persoalan digital divide
terutama menyangkut aspek literasi dan penciptaan konten. Namun cara mengatasi
persoalan digital divide tak cukup dengan rumusan kebijakan dan program yang
hanya menyasar pada kelompok masyarakat belum melek ICT karena dalam beberapa
kasus dapat kita temukan fakta bahwa dalam persoalan digital divide bisa
terjadi dikalangan masyarakat yang sudah melek sekalipun-anggaplah kelompok
masyarakat kelas menengah perkotaan yang sering terjebak dalam situasi
collective behavior ketika mereka involve dengan internet, terutama dalam penggunaan
sosial media.
Kondisi internet di Indonesia
adalah soal kebingungan tentang apa yang harus dilakukan atau tidak dan dimana
harus dilakukan? Fenomena-fenomena seperti pertarungan konten yang tidak
produktif, penyebaran berita-berita hoax berantai, maraknya kriminalisasi
waraga negara yang terjerat pasal 27 Ayat 3 UU ITE dan rendahnya literasi
adalah fakta yang tak dapat dihindari dari persoalan digital divide di
Indonesia. Konsekuensinya, pada kasus-kasus yang terjadi banyak orang yang
kurang mengerti atau tidak mengetahui soal literasi informasi dan mengiring
terjadinya kekacauan karena larut dalam perilaku kolektif massa (trap from
collective behavior). Oleh karena itu, perlu pemahaman terhadap aspek literasi
dan penciptaan konten.
Disamping itu, internet di
Indonesia masih bersifat elitis dan tentu saja bertolak belakang dengan
filosofi dasar internet yang mengandaikan kesetaraan, ini artinya masih terjadi
gap terutama dalam memperoleh akses pengetahuan dan keterampilan ICT serta
kemampuan dalam mengelola informasi. Maka dari itu, kita ditantang untuk
memiliki kecerdasan baru dalam mengelolanya, misalnya dengan menaati asas-asas
verifikasi karena bagaimanapun, pada saat ini setiap orang berpotensi untuk
tahu semua melalui internet.
Political engagement
Pengertian
partisipasi politik adalah kegiatan warganegara yang bertujuan untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan politik. Partisipasi politik dilakukan orang
dalam posisinya sebagai warganegara, bukan politikus ataupun pegawai negeri dan
sifat partisipasi politik ini adalah sukarela, bukan dimobilisasi oleh negara ataupun
partai yang berkuasa.
Definisi partisipasi politik yang cukup
senada disampaikan oleh Silvia Bolgherini. Menurut Bolgherini, partisipasi
politik " ... a series of activities related to political life, aimed at
influencing public decisions in a more or less direct way—legal, conventional,
pacific, or contentious.[3] Bagi Bolgherini, partisipasi politik adalah segala
aktivitas yang berkaitan dengan kehidupan politik, yang ditujukan untuk
memengaruhi pengambilan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung --
dengan cara legal, konvensional, damai, ataupun memaksa.
Studi klasik mengenai partisipasi
politik diadakan oleh Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam karya
penelitiannya No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries.
Lewat penelitian mereka, Huntington and Nelson memberikan suatu catatan:
Partisipasi yang bersifat mobilized (dipaksa) juga termasuk ke dalam kajian
partisipasi politik. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Bolgherini
yaitu bahwa dalam melakukan partisipasi politik, cara yang digunakan salah
satunya yang bersifat paksaan (contentious). Bagi Huntington and Nelson,
perbedaan partisipasi politik sukarela dan mobilisasi (diarahkan, senada dengan
dipaksa) hanya dalam aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan: Intinya baik
sukarela ataupun dipaksa, warganegara tetap melakukan partisipasi politik.
Ruang bagi partisipasi politik adalah
sistem politik. Sistem politik memiliki pengaruh untuk menuai perbedaan dalam
pola partisipasi politik warganegaranya. Pola partisipasi politik di negara
dengan sistem politik Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan di negara dengan
sistem Komunis atau Otoritarian. Bahkan, di negara-negara dengan sistem politik
Demokrasi Liberal juga terdapat perbedaan, seperti yang ditunjukkan Oscar
Garcia Luengo, dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New Media and Political
Participation in Europe. [4] Warganegara di negara-negara Eropa Utara (Swedia,
Swiss, Denmark) cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi politiknya ketimbang
negara-negara Eropa bagian selatan (Spanyol, Italia, Portugal, dan Yunani).
Bentuk Partisipasi Politik
Jika mode partisipasi politik bersumber
pada faktor “kebiasaan” partisipasi politik di suatu zaman, maka bentuk
partisipasi politik mengacu pada wujud nyata kegiatan politik tersebut. Samuel
P. Huntington dan Joan Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik
menjadi:
Kegiatan Pemilihan – yaitu kegiatan
pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses,
mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang
berusaha mempengaruhi hasil pemilu;
Lobby – yaitu upaya perorangan atau
kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan
mereka tentang suatu isu;
Kegiatan Organisasi – yaitu partisipasi
individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna
mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah;
Contacting – yaitu upaya individu atau
kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna
mempengaruhi keputusan mereka, dan
Tindakan Kekerasan (violence) – yaitu
tindakan individu atau kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan
cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini
adalah huru-hara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi
dan pemberontakan.
Political Disaffection. Political
Disaffection adalah istilah yang mengacu pada perilaku dan perasaan negatif
individu atau kelompok terhadap suatu sistem politik. Penyebab utama dari
political disaffection ini dihipotesiskan adalah media massa, terutama televisi.
Hipotesis tersebut diangkat dari kajian Michael J. Robinson selama 1970-an yang
mempopulerkan istilah “videomalaise”.
Dengan banyaknya individu menyaksikan
acara televisi, utamanya berita-berita politik, mereka mengalami keterasingan
politik (political alienation). Keterasingan ini akibat melemahnya dukungan
terhadap struktur-struktur politik yang ada di sistem politik seperti parlemen,
kepresidenan, kehakiman, partai politik, dan lainnya. Individu merasa bahwa
struktur-struktur tersebut dianggap tidak lagi memperhatikan kepentingan
mereka. Wujud keterasingan ini muncul dalam bentuk sinisme politik berupa
protes-protes, demonstrasi-demonstrasi, dan huru-hara. Jika tingkat political
disaffection tinggi, maka para individu atau kelompok cenderung memilih bentuk
partisipasi yang sinis ini.
Political Efficacy. Political Efficacy
adalah istilah yang mengacu kepada perasaan bahwa tindakan politik (partisipasi
politik) seseorang dapat memiliki dampak terhadap proses-proses politik.
Keterlibatan individu atau kelompok dalam partisipasi politik tidak bersifat
pasti atau permanen melainkan berubah-ubah. Dapat saja seseorang yang
menggunakan hak-nya untuk memiliki di suatu periode, tidak menggunakan hak
tersebut pada periode lainnya. Secara teroretis, ikut atau tidaknya individu
atau kelompok ke dalam bentuk partisipasi politik bergantung pada Political
Efficacy ini.
Media Consumption
Perkembangan
jaman yang semakin maju, teknologi, serta media yang semakinmaju dan modern,
masyarakat juga menjadi modern dengan mengikuti perkembangan media.Dalam
masyarakat yang modern inilah masyarakat yang berperan sebagai khalayak
mediadituntut dan didorong untuk juga menjadi modern. Masyarakat yang modern
adalah masyarakatyang melakukan sikap konsumtif. Menurut Don Slater (1997)
konsumsi adalah cara bagaimanamanusia dan faktor sosial dengan kebutuhan yang
dimiliki berhubungan dengan sesuatu (secara material, simbolik, jasa, maupun
pengalaman) yang dapat menciptakan rasa kepuasaan bagiseseorang. "ada
media kepuasaan yang dirasakan oleh khalayak bisa melalui aramenonton televisi,
membaca koran, mendengarkan radio, dan lain$lain, tanpa harusmengeluarkan biaya
yang berlebih untuk mendapatkan kepuasaan itu.
"ada a'alnya media melihat
karakteristik sasaran yang akan diberi tayangan$tayangan itu apakah mereka
menyukai atau tidak. Media diaman modern ini semakin mendorong khalayaknya
untuk semakin mengkonsumsi media hinggakhalayak pada titik puas dengan kemasan
media yang semakin menarik, menghibur, walaupun di balik itu semua terdapat
tujuan media adalah menjual. halayak media menggunakan 'aktuluang mereka untuk
duduk manis di hadapan televisi, radio, koran, ataupun media lain yangdianggap
dapat memberikan rasa kepuasaan tersendiri. Media memahami bah'a khalayak
membutuhkan hiburan yang sifatnya ringan,memuaskan dan murah. halayak sudah
terlalu bosan dengan rutinitas yang harus memenuhituntutan ekonomi. rasa bosan
dan penat ini ditangkap oleh media yang kemudian dijadikan produk hiburan yang
diperjual$belikan. 2gar produk ini terus laku di pasaran, media mengajak
khalayak untuk terlibat secara emosional pada konten yang disajikan.
Media Sociology
Sosiologi
hendak mempelajari masyarakat dan perilakunya, serta perilaku sosial manusia
dengan cara mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya. Sebagai suatu ilmu,
sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil
pemikiran ilmiah dan dapat dikontrol oleh orang lain atau umum. Dalam kajian
sosiologi sangat sukar merumuskan suatu definisi (batasan makna) yang
mengemukakan keseluruhan pengertian, sifat, dan hakikat yang dimaksud dalam
beberapa kata dan kalimat. Oleh sebab itu, suatu definisi hanya dapat dipakai
sebagai pegangan sementara. Meskipun penyelidikan berjalan terus dan ilmu
pengetahuan tumbuh ke arah berbagai kemungkinan, masih juga diperlukan suatu
pengertian yang pokok dan menyeluruh.
Media merupakan bentuk jamak dari kata
medium. Dalam ilmu komunikasi, media bisa diartikan sebagai saluran, sarana
penghubung, dan ala-alat komunikasi. Kalimat media sebenarnya berasal dari
bahasa latin yang secara harafiah mempunyai arti perantara atau pengantar.
Media merupakan salah satu bagian
esensial yang tak dapat dipisahkan dari era postmodernisme. Pengaruh
postmodernisme yang hampir menjangkau seluruh lapisan, tidak dapat dilepaskan
dari peran media. Media memiliki kekuatan untuk menenggelamkan realitas,
menyederhanakan berbagai isu, dan mempengaruhi berbagai peristiwa.
Media berfungsi menyebarkan opini publik
yang menghasilkan pendapatan atau pandangan yang dominan, sementara individu
dalam hal menyampaikan pandangannya akan bergantung pada pandangan yang
dominan, sedangkan media pada gilirannya cenderung memberitakan pandangan yang
terungkap.
Perspektif Sosiologi terhadap Media
Perspektif sosiologi merupakan pola
pengamatan ilmu sosiologi dalam mengkaji tentang kehidupan masyarakat dengan
segala aspek atau proses social kehidupan di dalamnya. Dalam ilmu sosiologi
terdapat dua perspektif besar yang memandang masyarakat dari sisi yang
berlawanan yaitu positivisme dan fenomenologi.
Perspektif sosiologi dapat mempengaruhi
jalannya media. Media ini bisa banyak macam dari media cetak maupun media elektronik.
Dalam berbagai tayanggannya media dapat berisi berbagai konten yang dipengaruhi
oleh perspektif sosiologi.
Perspektif Fungsionalis Terhadap Media
Dalam perspektif fungsionalis masyarakat dilihat sebagai suatu jaringan
kelompok yang bekerjasama secara terorganisasi yang bekerja dalam suatu cara
yang agak teratur menurut seperangkat aturan dan nilai yang di anut. Talcott
Parsons, Kingslay Davis dan Robert Merton sebagai para juru bicara yang
terkemuka, setiap kelompok atau lembaga melakukan tugas tertentu dan terus
menerus karena hal itu fungsional.
Perubahan sosial mengganggu keseimbangan
masyarakat yang stabil namun tidaklah lama, muncullah keseimbangan yang baru.
Sebagai contoh, dalam sebagian besar sejarah, keluarga besar sangat di dambakan.
Tingkat kematian tinggi dan keluarga besar membantu untuk meyakinkan adanya
beberapa yang selamat.
Teori komunikasi massa sangat di
butuhkan untuk memberi penjelasan tentang peranan media dalam sebuah sistem.
Lahirlah teori fungsional pada tahun 1950-1960 an. Melalui teori fungsionalisme
ini pengaruh dari komunikasi massa dalam kehidupan sosial di dunia bisa
dijelaskan dan dipahami, dan pada saat yang sama efeknya dapat dibatasi oleh
fungsi bagian lain dari sebuah sistem. Perspektif Konflik Terhadap Media
Perspektif konflik secara luas di dasarkan pada karya Karl Marx, yang
melihat peretentangan dan eksploitasi kelas sebagai penggerak utama dari
kekuatan-kekuatan sejarah. Perspektif konflik ini pada mulanya banyak di
abaikan oleh para sosiolog atau bisa di katakan bergerak di tempat saja tanpa
ada yang mengembangkannya lebih lanjut.
Seseorang pengguna media yang mempunyai
literasi media atau melek media akan berupaya memberi reaksi dan menilai
sesuatu pesan media dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Kajian literasi
media menyediakan pengetahuan, informasi, dan statistik tentang media dan
budaya, serta memberi pengguna media dengan satu set peralatan untuk berfikir
dengan kritis terhadap idea, produk atau citra yang disampaikan dan dijual oleh
isi media massa.
Tujuan dasar literasi media ialah
mengajar khalayak dan pengguna media untuk menganalisis pesan yang disampaikan
oleh media massa, mempertimbangkan tujuan komersil dan politik di balik suatu
citra atau pesan media, dan meneliti siapa yang bertanggungjawab atas pesan
atau idea yang diimplikasikan oleh pesan atau citra itu.
Perspektif Feminisme Terhadap Media
Feminisme adalah sebuah paham yang munul ketika wanita untuk menuntut
kesetaraan hak yang sama dengan pria. Istilah ini pertama kali di gunakna di
dalam debat politik di perancis di akhir abad ke 19. Menurut June Hannam di dalam buku feminism, kata feminisme bisa
diartikan sebagai:
1.
Pengakuan tentang ketidak seimbangan kekuatan antara dua jenis kelamin,
dengan peranan wanitadi bawah pria.
2.
Keyakinan bahwa kondisi wanita terbentu secara sosial maka dari itu
dapat di ubah.
3.
Penekanan pada otonomi wanita.
Feminisme sebagai salah satu teori
sosial adalah untuk menganalisis dan menjelaskan akar penyebab, dinamika dan
struktur penindasan terhadap perempuan.
Communicative Resources, ICTs
Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK) berasal dari bahasa Inggrisyaitu Information and
Communication Technologies (ICT) adalah payung besar terminologi yang mencakup
seluruh peralatan teknis untuk memproses dan menyampaikan informasi. ICT
mencakup dua aspek yaitu teknologi informasi dan teknologi komunikasi.
Teknologi informasi meliputi segala hal yang berkaitan dengan proses,
penggunaan sebagai alat bantu, manipulasi, dan pengelolaan informasi. Sedangkan
teknologi komunikasi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan
alat bantu untuk memproses dan mentransfer data dari perangkat yang satu ke
lainnya. Oleh karena itu, teknologi informasi dan teknologi komunikasi adalah
dua buah konsep yang tidak terpisahkan. Jadi Teknologi Informasi dan Komunikasi
mengandung pengertian luas yaitu segala kegiatan yang terkait dengan
pemrosesan, manipulasi, pengelolaan, pemindahan informasi antar media. Istilah
ICT muncul setelah adanya perpaduan antara teknologi komputer (baik perangkat
keras maupun perangkat lunak) dengan teknologi komunikasi pada pertengahan abad
ke-20.
Menurut
Fitrihana (2007), ICT adalah sistem atau teknologi yang dapat mereduksi batasan
ruang dan waktu untuk mengambil, memindahkan, menganalisis, menyajikan,
menyimpan dan menyampaikan informasi data menjadi sebuah informasi. Dan dalam
konteks pembelajaran, ICT meliputi segala hal yang berkaitan dengan pemanfaatan
komputer untuk mengolah informasi dan sebagai alat bantu pembelajaran serta
sebagai sumber informasi bagi guru dan siswa.
Dampak
ICT / TIK Dalam Pendidikan
Seiring
berkembangnya zaman, ICT/TIK semakin digunakan di dunia pembelajaran, hal itu
bisa terjadi karena ICT/TIK dirasa membawa keuntungan baik bagi pengajar maupun
pelajar, keuntungan atau dampak positif dari pembelajaran yang menggunakan
ICT/TIK tersebut antara lain adalah :
Pelajar jadi lebih mudah dalam belajar,
karena kebanyakan pelajra lebih suka praktek dibandingkan teori.
Pengajar jadi lebih mudah mengajar
jadi lebih mudah menyampaikan materi dengan membuat presentasi – presentasi.
Bagi pelajar maupun pengajar, pemberian dan penerimaan materi atau tugas tidak
harus bertatap muka, jadi jika pengajar berhalangan hadir tetap dapat memberi
tugas atau materi melalui e-mail. Dalam membuat laporan baik bagi pelajar,
maupun pengajar jadi lebih mudah karena jika memakai komputer, akan mudah
dikoreksi jika ada kesalahan. Dalam belajar, baik pelajar maupun pengajar akan
lebih mudah mencari sumber karena adanya internet.
Pembelajaran
yang menggunakan ICT/TIK bisa dibuat menjadi lebih menarik, misalnya dengan
memunculkan gambar atau suara, sehingga pelajar menjadi lebih antusias untuk
belajar. Segala sesuatu pasti ada dampak positif dan negatif, tidak terkecuali
pembelajaran yang menggunakan ICT/TIK
Pembelajaran yang menggunakan ICT/TIK
hanya bisa dilaksanakan oleh sekolah yang mampu, bagi sekolah – sekolah yang
kurang mampu akan ketinggalan, dan siswanya akan kesulitan jika mereka masuk ke
sekolah lanjutan di kota besar yang sudah sering menggunakan ICT/TIK
Setiap pelajar harus mendapat fasilitas
yang sama, jadi dalam pembelajaran yang menggunakan komputer, setiap pelajarnya
harus memakai 1 komputer yang memadai, jika komputer yang dalam kondisi baik
hanya sebagian, aka nada siswa yang hanya menonton, sehingga mereka tidak
menguasai penggunaan komputer
Dalam pembelajaran, siswa – siswa yang
tidak antuasias dalam penerimaan materi sering kali lebih suka main game selama
pembelajaran, sehingga mereka tidak konsentrasi dan tidak menerima materi yang
diajarkan.
Dalam pembelajaran yang menggunakan
internet yang tidak dibatasi, sering kali pelajar menggunakan internet bukan
untuk keperluan belajar, misalnya membuka situs youtube untuk menonton video
dalam proses belajar
Bagi pengajar yang malas masuk kelas
cenderung memberi tugas – tugas yang memanfaatkan internet sehingga tatap muka
dengan pelajar jarang terjadi, akibatnya pengajar tidak mengenali pelajarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar